HAK-HAK ATAS TANAH YANG BERSIFAT SEMENTARA

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu waTa’ala, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Hak-Hak Atas Tanah Yang Bersifat Sementara ”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajarinya.
            Kami merima kritik dan saran jika adanya dijumpai kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta bimbingan dan arahan dari dosen.

            Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah Subhanahu waTa’ala memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.


Langsa, 18 April 2016

                                                                                                                                          “Penyusun”




DAFTAR ISI

                                                                                                                  Halaman
KATA PENGANTAR ...............................................................................       i
DAFTAR ISI ..............................................................................................       ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................       
1.1 Latar Belakang ........................................................................................       
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................       
1.3 Tujuan......................................................................................................       

BAB II  PEMBAHASAN ...........................................................................       
2.1 Hak Gadai (gadai tanah)..........................................................................       
2.2 Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjiann bagi hasil).........................................       
2.3 Hak Menumpang.....................................................................................       
2.4 Hak Sewa Tanah Pertanian......................................................................       

BAB III PENUTUP ....................................................................................       
3.1 Kesimpulan..............................................................................................       

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................       




BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

1.2  Permasalahan
1.      Apa pengertian dari hak atas tanah yang bersifat sementara ?
2.      Hak apa saja yang termasuk hak atas tanah yang bersifat sementara ?
3.      Bagaimana penjelasan hak-hak yang termasuk hak atas tanah yang bersifat sementara tersebut ?
1.3  Tujuan
1.      Agar mengetahui apa pengertian dari hak atas tanah yang bersifat sementara
2.      Agar mengetahui apa saja yang termasuk hak atas tanah yang bersifat sementara
3.      Agar mengetahui penjelasan hak-hak yang termasuk hak atas tanah yang bersifat sementara

BAB II
PEMBAHASAN
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA. Macam-macam haknya disebutkan dalam pasal 53 UUPA, yang meliputi Hak Gadai (Gadai Tanah), hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. Hak-hak atas tanah ini diatur dalam UUPA dan diberi sifat semetara, dalam waktu yang singkat, diusahakan akan dihapus karma mengandung sifat-sifat pemerasan dan bertentangan dengan jiwa UUPA. Kenyataannya sampai saat ini tidak dapat dihapuskan dan yang dapat dilakukan adalah mengurangi sifat-sifat pemerasan.

Macam-macam Hak Atas Tanah yang bersifat Sementara secara berurutan macam-macam hak atas tanah ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
2.1 Hak Gadai (Gadai Tanah)
Pengertian Hak Gadai (Gadai Tanah).
UUPA tidak memberikan pengertian apa yang dimaksud denagn Hak Gadai (Gadai Tanah). Untuk memperoleh pemahaman tentangpengertian Gadai Tanah, berikut ini dikemukakan pendapat Boedi Harsono, Gadai tanah adalah hubungan hukum seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang telah menerima uang gadai daripadanya. Selama uang gadai belum dikembalikan, tanah tersebut dikuasai oleh pemegang gadai. Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, Pengembalian uang gadai  atau yang lazim disebut penebusan tergantung pada kemauan dan kepampuan pemilik tanah yang yang menggadaikan, banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun bahkan sampai puluhan tahun karena pemilik tanah belum mampu melakukan penebusan.


Para pihak dalam Hak Gadai (Gadai Tanah).
Dalam hal Gadai (Gadai Tanah) terdapat dua pihak, yaitu pihak pemilik tanah pertanian tersebut pemberi gadai dan pihak yang menyerahkan uang kepada pemberi gadai disebut penerima (pemegang) gadai. Pada umunya, pemberi gadai berasal dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, Sebaliknya penerima (pemegang) gadai berasal dari golongan masyarakat yang mampu (kaya).

Terjadinya Hak Gadai (Gadai Tanah).
Hak Gadai (Gadai Tanah) pertanian bagi masyarakat Indonesia khususnya  petani bukanlah hal yang baru. Semula  lembaga ini diatur/tunduk pada hukum adat tentang tanah dan pada umumnya dibuat tidak tertulis. Kenyataan ini selaras dengan sistem dan cara berfikir hukum adat yang sifatnya sangat sederhana. Hak gadai (Gadai Tanah) dalam hukum adapt harus dilakukan dihadapan kepala desa/kepala adapt selaku kepala masyarakat. Hukum adapt mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengatur perbuatan -perbuatan hukum mengenai tanah yang terjadi dalam lingkungan wilayah kekuasaannya. Dalam praktiknya, Hak gadai (Gadai Tanah) pada umumnya dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa/kepala adat. Hak Gadai (Gadai Tanah) hanya dilakukan oleh pemilik tanah dan pihak yang memberikan uang gadai, dan dilakukan tidak tertulis.

Perbedaan Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai dalam Hukum Perdata Barat.
Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan. Objek Hak Gadai (Gadai Tanah) adalah tanah, sedangkan objek perjanjian pinjam-meminjam uang dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang. Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adapt merupakan perjanjian pokok yang berdiri sendiri, yang dapat disamakan dengan jual lepas (adol plas) ataujual tahunan (adol tahunan) . jadi tidak merupakan perjanjian tambahan sebagaimana halnya gadai dalam pengertian Hukum Perdata Barat. Perbedaan antara Hak Gadai (Gadai Tanah) dan Gadai menurut Hukum Perdata Barat, adalah pada Hak Gadai (Gadai Tanah) terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan tanah pertanian oleh orang yang memberikan uang gadai, sedangkan Gadai menurut Hukum Perdata Barat terdapat dua perbuatan hukum yang berupa perjanjian pinjam-meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan penyerahan benda bergerak sebagai jaminan, sebagai perjanjian ikutan.

Jangka Waktu Hak Gadai Tanah (Gadai Tanah).
Jangka waktu Hak Gadai (Gadai Tanah) dalam praktiknya dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Hak Gadai (Gadai Tanah) yang lamanya tidak ditentukan
Dalam hal Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak ditentukan lamanya, maka      pemilik tanah pertanian tidak boleh melekukan penebusan sewaktu-waktu, misalnya sekarang digadai, 1 atau 2 bulan kemudian ditebus. Penebusan baru dapat dilakukan apabila pemegang gadai minimal telah melakukan satu kali masa panen. Hal ini disebabkan karma Hak Gadai (Gadai Tanah) merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian pinjam-meminjam uang.
2. Gadai Tanah yang lamanya ditentukan      
Dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) ini, pemilik tanah baru dapat menebus tanahnya kalau jangka waktu yang diperjanjikan dalam Hak Gadai (Gadai Tanah) berakhir. Kalau jangka waktu tersebut sudah berakhir dan pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, maka tidak dapat dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi sehingga pemegang gadai bias menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut. Apabila batas waktu yang telah ditentukan pemilik tanah tidak dapat menebusnya, maka pemegang gadai tidak dapat memaksa pemilik tanah untuk menebus tanahnya, dan kalau pemegang gadai tetap tetap memaksa menjual lelang tanah yang digadaikan tersebut, maka pemilik tanah dapat menggugat pemegang gadai kecuali pemilik tanah dapat mengizinkan menjual tanah yang digadaikan.



Ciri-ciri Hak Gadai (Gadai Tanah).
Hak Gadai (Gadai Tanah) menurut hukum adapt mengandung cirri-ciri sebagai berikut :
a.                   Hak menebus tidak mungkin kadaluarsa.
b.                  Pemgang gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya.
c.                   Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera ditebus.
d.                  Tanah yang digadaikan tidak bias secara otomatis menjadi milik pemegang gadai bila tidak ditebus.

Menurut Boedi Harsono, sifat-sifat dan cirri-ciri Hak Gadai (Gadai Tanah), adalah sebagai berikut :
1.                  Hak Gadai (Gadai Tanah) jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu akan hapus. Hak Gadai (Gadai Tanah) berakhir kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan. Penebusan kembali tanah yang digadaikan tergantung pada kemauan dan kemampuan pemiliknya, artinya ia tidak dapat dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang karena lampaunya waktu atau meninggalnya si pemilik tanah. Jika pemilik tanah meninggal dunia hak untuk untuk menebus beralih kepada ahli warisnya;
2.                  Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai. Jika pemegang gadai meninggal dunia, maka hak tersebut berpindah kepada ahli warisnya;
3.                  Hak Gadai (Gadai Tanah) dapat dibebani dengan hak-hak tanah yang lain. Pemegang gadai berwenang untuk menyewakan atau membagihasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu bias pihak ketiga, tetapi bias juga pemilik tanah sendiri. Pemegang gadai bahkan berwenang juga untuk menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga tanpa perlu meminta izin atau memberitahukannya kepada pemilik tanah (menganakgadaikan atau Onderverpanden). Perbuatan ini  tidak mengakibatkan terputusnya hubungan gadai dengan pemilik tanah. Dengan demilian, tanah yang bersangkutan terikat pada hubungan gadai;
4.                   Hak Gadai (Gadai Tanah) dengan persetujuan pemilik tanahnya dapat “dialihkan”kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru  antara pemilik dan pihak ketiga itu (memindahkan gadai atau doorverpanden) ;
5.                  Hak Gadai (Gadai Tanah) tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain;
6.                  Selama Hak Gadai (Gadai Tanah)nya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah (mendalami gadai);
7.                  Sebagai lembaga, Hak Gadai (Gadai Tanah) pada waktunya akan dihapus.

Sifat pemerasan dalam Hak Gadai (Gadai Tanah).
Hak Gadai (Gadai Tanah) di samping mempunyai unsure tolong menolong, namun juga mengandung sifat pemerasan karena selama pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, tanahnya tetap dikuasai oleh pemegang gadai.


2.2 Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Pengertian Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Perjanjian bagi hasil secara umum dapat diartikan sebagai suatu perjanjian di mana seseorang pemilik tanah memperkenankan atau mengizinkan orang lain dalam hal ini penggarap untuk menggarap tanahnya dengan membuat suatu perjanjian, bahwa pada waktu panen hasil dari tanaman tersebut akan dibagi sesuai perjanjian yang telah dibuat.
Dalam membicarakan masalah ini dasarnya ialah Pasal 1 huruf c Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 yang menyatakan secara tegas pengertian perjanjian bagi hasil, sebagai berikut : “Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak yang dalam Undang-Undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenangkan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagiannya antara kedua belah pihak”.
Pengertian di atas ditempatkan sejajar dengan beberapa istilah yang lain, ini termasuk semuanya dalam suatu perangkat pengertian yang dalam bab ini diberi titel arti beberapa istilah. Istilah yang sejajar ditulis sebagai berikut :
a.    Tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan.
b.    Pemilik, adalah orang atau badan Hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah.
c.    Perjanjian bagi hasil.
d.   Hasil tanah, ialah hasil usaha pertanian yang diselenggarakan oleh penggarap termasuk dalam huruf c pasal ini setelah dikurangi biaya bibit, pupuk, ternak serta biaya untuk menanam dan biaya panen.
e.    Petani, adalah orang baik yang mempunyai maupun yang tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.
Dari pengertian di atas terdapat suatu penembangan dari pengertian-pengertian bagi hasil yang diuraikan sebelumnya, yang mana ditetapkannya badan Hukum dapat menjadi pihak dalam suatu perjanjian bagi hasil.
Dapat dilihat bahwa Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 dalam Pasal 1 tersebut di atas telah menyatakan bahwa perjanjian dengan nama apapun juga antara pemilik dan penggarap disebut perjanjian bagi hasil. Menyebut dengan nama apapun juga menandakan bahwa sesungguhnya sejak awal pembuat Undang-Undang telah menyadari bahwa perjanjian bagi hasil mempunyai nama yang bermacam-macam ditiap-tiap daerah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa keberadaan Hukum adat khususnya yang menyangkut bagi hasil terhadap tanah Akkinanreang dihormati oleh pemerintah setempat.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, secara otomatis merupakan suatu pengakuan pemerintah terhadap adanya pelaksanaan perjanjian bagi hasil yang berlaku dalam masyarakat Hukum adat.
Disamping itu, latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1.        Masih adanya pemilik tanah yang tak sempat atau yang tak dapat mengerjakan sendiri tanahnya, sehingga memperkenangkan orang lain untuk mengerjakan. Pemilik tanah pertanian secara besar-besaran oleh orang-orang yang tergolong berekonomi kuat terjadi sebelum dan sesudah dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria. Sebaliknya yang berekonomi lemah hanya memiliki tanah pertanian yang sempit, bahkan biasanya tidak memiliki tanah sebidangpun. Golongan ini selain jumlahnya banyak, juga hidup dengan berusaha menjadi buruh tani, menggarap tanah pertanian sambil terikat oleh berbagai persyaratan yang sangat memberatkan. Setelah berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria dan Landreform, maka pemilikan tanah secara luas mulai dibatasi dengan ketentuan batas maksimum dan batas minimum. Tujuannya adalah untuk mencegah berlarut-larutnya ketimpangan-ketimpangan seperti yang telah dikemukakan. Selain itu para pemilik tanah diusahakan dapat mengelolah dan mengerjakan sendiri tanahnya sehingga memperkenangkan orang lain untuk mengerjakan sistem perjanjian bagi hasil.
2.        Adanya kebiasaan dalam melaksanakannya perjanjian bagi hasil secara lisan tanpa disaksikan dan diketahui serta disahkan oleh pihak-pihak yang berwenang. Hal demikian dapat mengakibatkan ketidakpastian dan keraguan dalam Hukum sehingga memungkinkan timbulnya perselisihan antara para pihak.
3.        Untuk mencegah terjadinya hal seperti dikemukakan terutama cara-cara yang tidak menguntungkan baik dipihak pemilik tanah maupun dikalangan para penggarap, untuk itu pemerintah berkewajiban mengatur sedemikian rupa sistem perjanjian bagi hasil dalam suatu Undang-Undang yang berlaku diseluruh wilayah Indonesaia. Sebagai pelaksanaannya, diundangkanlah Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.

Penjelasan dan Ketentuan Perjanjian Bagi Hasil Menurut UU No 2     Tahun 1960
Pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.2 Tahun 1960 dijelaskan sebagai berikut :
1.    Semua perjanjian bagi hasil harus ada pemilik dan penggarap sendiri dihadapan kepala desa atau kepala daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan. Selanjutnya Undang-Undang ini disebut  : Kepala desa, dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
2.    Perjanjian bagi hasil dalam ayat 1 di atas memerlukan pengesahan dari Camat yang bersangkutan atau dari pejabat lain yang setingkat dengan itu. Selanjutnya dalam Undang-Undang itu disebut Camat.
3.    Pada tiap musyawarah desa, maka Kepala Desa mengumumkan semua perjanjian bagi hasil yang diadakan sesudah musyawarah yang terakhir.
4.    Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas.
Demikian kita kutip secara lengkap ketentuan dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1960 Pasal 3 ayat (1,2,3 dan 4) secara lebih lengkap agar kiranya menjadi jelas bahwa perjanjian bagi hasil telah diatur pelaksanaannya, perangkat dan proses bagaimana melaksanakannya. Walaupun terdapat kesenjangan antara ketentuan yang diundangkan dengan realita dimasyarakat, namun ketentuan tersebut tetaplah senantiasa sebagai bahan perbandingan bila mana diingat bahwa Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut adalah suatu ketentuan satu-satunya yang mengatur masalah perjanjian bagi hasil.
Dari Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 tersebut di atas diketahui bahwa suatu perjanjian bagi hasil atas sebidang tanah yang diperjanjikan antara seorang atau lebih hanya dapat dianggap sah bilamana dilakukan secara tertentu dengan beberapa syarat. syarat-syarat tersebut adalah :
1.        Perjanjian harus dibuat oleh para pihak itu sendiri.
2.        Harus dibuat tertulis dihadapan Kepala Desa.
3.        Harus disaksikan 2 orang, masing-masing dari kedua pihak tersebut.
4.        Harus disaksikan olek Camat setempat.
Berdasarkan keempat syarat yang disebutkan di atas, maka suatu perjanjian bagi hasil dapat dianggap sah bilamana telah memenuhi atau menjalankan ketentuan yang sudah ditetapkan. Oleh karena itu dapat ditarik bahwa kekurangan dari salah satu syarat yang diakibatkan oleh karena tidak dijalankan dilaksanakannya syarat tersebut, dapat memberi konsekuensi tidak sah atau tidak diakuinya suatu perjanjian bagi hasil.
Penetapan keempat syarat tersebut, menurut pemikiran penulis adalah wajar dan memang suatu keharusan demi mencapai efektifitas ketentuan perundang-undangan yang bertumpuh pada keadilan sepenuh-penuhnya untuk semua pihak. Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.2 Tahun 1960 ini juga amat logis sebagai suatu penetapan penting bagi terselenggaranya perjanjian bagi hasil dan untuk suatu kepastian Hukum bagi semua kalangan masyarakat tani pada semua tingkatan sosial dan lapisan kehidupan.
Khususnya bagi kalangan masyarakat pemilik tanah dan penggarap maka perlu adanya ketentuan yang menekankan unsur keadilan dan kepastian Hukum sebagaimana yang telah digariskan dalam Pasal 3 seperti dikemukakan di atas agar kiranya bertujuan untuk menjamin terciptanya kehidupan yang berlandaskan pada adanya pemerataan penikmatan hasil tanah pertanian diantara semua masyarakat tani. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan suatu kehidupan yang lebih sejahtera.
Suatu latar belakang pemikiran lain, agaknya menjadi bahan pertimbangan dengan ditetapkannya ketentuan bahwa setiap perjanjian bagi hasil mesti dituangkan secara tertulis dan lebih menunjukkan adanya sesuatu yang benar-benar nyata. Dengan demikian dari segi realitanya sebagai sebuah perbuatan Hukum yang dapat dibuktikan dan memperkuat daya berlakunya.
Oleh karena itu dapat dikaitkan bahwa dengan suatu bentuk yang tertulis, maka perjanjian bagi hasil dapat menghindarkan terjadinya keragu-raguan. Hal ini kiranya amat penting mengingat bahwa kepercayaan hanya dapat diperoleh bilamana ada suatu yang konkrit dan dijadikan bukti tentang terjadinya suatu perbuatan Hukum.
Dengan adanya kepercayaan yang ditumbuhkan oleh adanya bentuk tertulis, maka kemungkinan munculnya perselisihan akibat keragu-raguan dapat dicegah sedini mungkin. Bentuk tertulis juga akan lebih efektif bagi kedua pihak, karena dengan cara demikian telah ditegaskan dalam bentuk dan kelihatan dengan jelas adanya kesepakatan tentang hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yang mengadakan suatu perjanjian bagi hasil. Demikian pula akan menjadi suatu penegasan kedua pihak yang menyangkut aspek-aspek dari perjanjian lainnya yang menjadi kesepakatan.

Tujuan Dibentuknya Aturan Mengenai Perjanjian Bagi Hasil
a.    Agar pembagian hasil tanah antara para pihak didasarkan atas dasar adil.
b.    Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan Hukum yang layak bagi penggarap, yang biasanya dalam suatu perjanjian bagi hasil itu berada dalam keduddukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
c.    Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah kegembiraan bekerja pada petani. Hal mana akan berpengaruh baik pula pada caranya memelihara kesuburan, dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu saja akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program untuk melengkapi sandang pangan rakyat”.

Jangka Waktu Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil)
Menurut UU No. 2 Tahun 1960 lamannya janga waktu untuk tanah sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan untuk tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun.


2.3 Hak Menumpang
Pengertian Hak Menumpang
UUPA tidak memberikann pengertian yang dimaksud dengan hak menumpang
Menurut Boedi Harsono : Hak Menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seorang untuk mendirikan dan menempati rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain. Hak menumpang biasanya terjadi atas dasar kepercayaan oleh pemilik tanah kepada orang laim yan belum mempuunyai rumah sebagai tempat tinggal dalam bentuk tidak tertulis, tidak ada saksi dan tidak diketeahui oleh perangkat desa/ kelurahan, sehingga jauh dari kepastiann hukum dan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.

Sifat dan Ciri-Ciri Hak Menumpang
1.      Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat di hentikan.
2.      Hubungan hukumnya lemah yaitu sewaktu-waktu dapat di putuskan ole pemilik tanah jika ia memerlukan tanah tersebut.
3.      Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu (uang sewa) kepada pemilik tanah.
4.      Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan.
5.      Bersifat turun-temurun artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, tidak dapat dialihka kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya.

Hapusnya Hak Menumpang
1.      Pemilik tanah sewaktu-waktu dapat mengakhiri hubungan hukum antara pemegang hak menumpang dengan tanah yang bersangkutan.
2.      Hak milik atas tanah yang bersangkutan dicabut untuk kepentingan umum
3.      Pemegang hak menumpang melepaskan secara sukarela hak menumpang
4.      Tanahh musnah.


2.4 Hak Sewa Pertanian
Pengertian Hak Sewa Pertanian
a.       UUPA tidak memberikan pengertia yang dimaksud denga hak sewa tanah pertanian.
b.      Hak sewa tanah pertanianadalah suatu perbuata hukum dalam bentuk penyerahan penguasaan tanah pertanian oleh pemilik tanah kepada pihak lain (penyewa) dalam jangka waktu tertentu dan sejumlah uang sebagai sewa yang ditetukan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.
c.       Hak sewa tanah perjanjian bias terjadi dalam bentuk perjanjian yang tidak tertulis atau tetulis yang memuat unsure-unsur para pihak, objek, uang sewa, jangka waktu hak dan kewajiban bagi pemilik tanah pertanian dan penyewa.

Hapusnya Hak Sewa Tanah
1.      Jangka waktu berakhir
2.      Hak sewanya dialihkan kepada pihak lain tanpa persetujuan dari pemilik tanah kecuali hal itu diperkenankan oleh pemilik tanah
3.      Hak sewanya dilepaskan secara sukarela oleh penyewa
4.      Hak atas tanah dilepaskann secara oleh penyewa
5.      Hak atas tanah tersebut di cabut untuk kepantingan umum
6.      Tanahnya musnah.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dalam Pasal 1 dan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang Undang No. 5/1960 – UUPA dikenal dengan istilah Hak Bangsa Indonesia, dimana berdasarkan Hak ini, maka konsep hukum tanah Indonesia dinyatakan bahwa pada dasarnya seluruh tanah yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh bangsa Indonesia.
Karena keseluruhan tanah yang ada di Indonesia konsepnya merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, maka untuk menghindari kekacauan dalam peruntukan dan pemilikannya, diperlukan suatu pengaturan terhadap peruntukan dan pemilikan tanah tersebut. Untuk itu lebih lanjut dalam pasal 2 juncto pasal 8 UUPA dikenal dengan Hak Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara adalah hak yang dimiliki oleh Negara untuk melakukan pengaturan tanah yang merupakan Karunia dari Tuhan Yang Maha Esa baik dalam peruntukan maupun kepemilikan terhadap tanah di Indonesia.
Dengan pengaturan yang dilakukan oleh Negara diharapkan cita-cita Undang Undang Dasar pasal 33 ayat 3 dapat tercapai, yaitu; “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Dalam Hak Bangsa Indonesia, terdapat hak yang diberi kewenangan khusus, yaitu Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak Ulayat pada dasarnya hampir sama dengan Hak Bangsa Indonesia, karena Hak Ulayat adalah milik semua anggota masyarakat hokum adat setempat. Kepala adat berhak dalam melakukan pengaturan penggunaan maupun pengelolaan tanah atas Hak Ulayat. Hak Ulayat ini sebagaimana telah dipertegas dalam ketentuan pasal 3 juncto pasal 5 UUPA.
Kembali kepada Hak Menguasai Negara, maka konsekuensinya mengakibatkan seluruh tanah yang belum ada kepemilikannya (kecuali tanah ulayat sebagaimana dijelaskan sebelumnya), adalah dikuasai oleh Negara. Sehingga jika ada seorang warga Negara Indonesia hendak memiliki atau mempergunakan sebuah lahan tanah, maka warga tersebut hanya dapat dinyatakan sebagai pemilik jika sudah mengajukan permohonan hak atas tanah. Atau, jika orang ini sudah menempati lahan tanah tersebut selama lebih dari 30 tahun, maka dapat mengajukan permohonan pengakuan hak.



DAFTAR PUSTAKA
·         Harsono, Boedi.  2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan.

·         Koeswahyono, Imam. 2007. Hukum Agraria Indonesia Dalam Perspektif Sejarah. Refika Aditama.

·         Muljadi, Kartini. 2005. Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media.

·         Parlindungan, A.P. 1987. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung; Alumni.


·         http://www.palmery.blogspot.co.id/2015/07/makalah-hukum-agraria.html/  diakses tanggal 18, 23:15 WIB.

Comments

Popular Posts