UPACARA ADAT PERKAWINAN DAN PERLENGKAPAN PEUSIJUK DALAM MASARAKAT ACEH

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu waTa’ala, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Upacara Adat Perkawinan dan Perlengkapan Peusijuk di Aceh ”, yang menurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajarinya.
            Kami merima kritik dan saran jika adanya dijumpai kekurangan–kekurangan di dalam makalah ini dan oleh karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui diskusi serta bimbingan dan arahan dari dosen.

            Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Allah Subhanahu waTa’ala memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.


Langsa, 11 April 2016

                                                                                                                                    “Penyusun”




DAFTAR ISI

                                                                                                             Halaman
KATA PENGANTAR ...............................................................................       i
DAFTAR ISI ..............................................................................................       ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................       
1.1 Latar Belakang ........................................................................................       
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................      

BAB II  PEMBAHASAN ...........................................................................       
2.1 Tahapan dan Proses Upacara..............................................................       
2.2 Perlengkapan Peusijuk..........................................................................       
              
BAB III PENUTUP ....................................................................................       
3.1 Kesimpulan..............................................................................................       
3.2 Saran........................................................................................................       
              
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................       





BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki aneka ragam budaya. Keanekaragaman budaya Indonesia itu tersebar di seluruh tanah air bagaikan butir-butir permata yang tak ternilai harganya. Karena kebudayaan daerah merupakan indentitas dari suatu suku bangsa dan juga sebagai landasan pembangunan budaya nasional, maka selaku warga yang cinta pada negara, selayaknyalah kita selalu berusaha untuk melestarikan dan menjaga budaya bangsa kita. Tetapi akhir-akhir ini terlihat aoanya pergeseran nilai budaya akibat adanya animo masyarakat yang menganggap segala sesuatu yang datang dari luar lebih baik daripada yang ada dalam negeri. Hal itu menyebabkan budaya luar itu dapat dengan mudah menggeser kedudukan budaya daerah. Selain itu orang-orang tua yang ahli mengenai adat-istiadat sudah mulai langka dan buku-buku yang membicarakan budaya daerah yang ada di seluruh Indonesia belum begitu banyak, sehingga dikhawatirkan kebudayaan itu akan punah dan tidak dapat dikenal lagi oleh generasi penerus. Agar kebudayaan itu tetap dikenal oleh generasi penerus bangsa Indonesia, maka dilakukanlah berbagai upaya pelestarian dan pemeliharaan budaya daerah, baik oleh pemerintah maupun oleh orang-orang yang cinta akan budaya.[1]
Perkawinan menempati posisi yang penting dalam tata pergaulan masyarakat Aceh. Perkawinan merupakan proses penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan, tak jarang masyarakat menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam hidupnya. Karena itulah, adat-istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara


perkawinan adat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara adat perkawinan Aceh mengandung berbagai makna filosofis.
Secara biologis, perkawinan merupakan upaya melegalkan aktivitas seksual antara laki-laki dan perempuan sekaligus memperoleh keturunan. Hampir semua kelompok adat di Aceh jarang membicarakan motif biologis karena menganggapnya tabu. Meskipun motif tersebut hidup dalam kesadaran masyarakat. Perkawinan akhirnya menyangkut dua hal. Di satu pihak, norma adat dan agama melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Di pihak lain, norma adat Aceh memberikan tekanan kepada orangtua untuk mengawinkan anaknya, bila anaknya sudah sampai waktunya (kematangan seksual) yang dalam bahasa Aceh disebut tro’ umu[2]. Selain kebutuhan biologis perkawinan juga berfungsi secara sosial. Pasangan yang baru saja menikah akan hidup bersama dalam satu ikatan, dan ikatan tersebut diakui dan sepakati oleh anggota-anggota masyarakat. Keluarga baru tersebut dituntut untuk bekerja sama dengan keluarga saudara mereka, kadang juga keluarga sanak kerabat mereka dalam mengasuh rumah tangga. Sehubungan dengan dengan tugas yang di berikan oleh Dosen,  tentang tata cara pelaksanaan Perkawinan Aceh Adat.
1.2 Permasalahan
1.      Bagaimana upacara perkawinan adat Aceh ?
2.      Bagaimana perlengkapan peusijuk dalam masyarakat Aceh ?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tahapan dan Proses Upacara
Ada beberapa tahapan dalam upacara perkawinan Aceh sejak persiapan hingga setelah perkawinan. Tahapan-tahapan tersebut mempunyai tata cara masing-masing. beberapa tahap perkawinan adat Aceh adalah:[3]
A.    Persiapan Menuju Perkawinan
·         Jak Keumalen
Jak Keumalen artinya mencari calon istri/suami. Jak Keumalen dilakukan melalui dua cara. Pertama, dilakukan langsung oleh orangtua laki-laki; atau, kedua, dilakukan oleh utusan khusus. Maksud Jak Keumalen ialah menjajaki kehidupan keluarga calon pengantin. Biasanya beberapa orang dari pihak mempelai pria datang bersilaturahmi sambil memperhatikan calon mempelai perempuan, suasana rumah, dan perilaku keluarga tersebut.
Setelah kunjungan, keluarga calon mempelai pria bertanya kepada pihak orangtua perempuan, apakah putrinya sudah mempunyai calon suami. Bila sambutannya baik dan jawaban “ya”, tahapan selanjutnya adalah Jak Ba RanubJak Keumalen dilakukan karena pada silam hubungan laki-laki dan perempuan adalah tabu. Selain peran orang tua yang begitu dominan terhadap anak, termasuk urusan jodoh.
§  Jak Ba Ranub
Setelah melewati tahap Jak Keumalen, berikutnya adalah upacara Jak Ba Ranub atau upacara meminang calon pasangan. Dalam acara ini, orangtua linto baro mengirim utusan untuk membawa sirih, kue, dan lain-lain ke keluarga dara baro. Melalui utusan tersebut, keluarga linto baromengungkapkan maksud mereka pada dara baro. Bila ia menerima, keluarga dara baro kemudian melakukan musyawarah. Bila seluruh keluarga menyetujui, proses selanjutnya adalah Jak Ba Tanda. Tapi, kalau ternyata keluarga dara baro tidak setuju, keluarga dara baro akan menjawab dengan alasan dan cara yang baik.
§  Jak Ba Tanda
Jak Ba Tanda adalah upacara memperkuat tanda jadi. Pihak calon pengantin laki-laki akan membawa sirih lengkap dengan makanan kaleng, seperangkat pakaian yang disebut lapek tanda,dan perhiasan emas. Barang-barang tersebut ditaruh dalam “talam” atau “dalong” yang dihias sedemikian rupa. Di rumah  dara baro, talam tersebut dikosongkan kemudian diisi kue-kue sebagai balasan dari keluarga dara baro. Pembahasan mas kawin (jeulamei), uang hangus (peng angoh), rencana hari dan tanggal pernikahan, serta jumlah undangan dan jumlah rombongan pihak pengantin laki-laki dilakukan pada upacara ini.

B.     Upacara Menjelang Perkawinan
Sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, ada beberapa upacara yang mendahuluinya, di antaranya:[4]
§  Malam Peugaca
Malam peugaca adalah malam menjelang upacara pesta pernikahan (meukerejia). Pada malampeugaca inilah biasanya upacara keselamatan (peusijuk) untuk kedua mempelai. Upacara ini biasanya dilakukan di malam hari selama 3 hingga 7 hari. Busana yang dikenakan calon pengantin perempuan tidak ditentukan. Upacara keselamatan pada malam peugaca disebut peusijuk gaca. Upacara ini dipimpin oleh sesepuh adat (nek maja), dan dimulai oleh ibu calon pengantin perempuan, kemudian dilanjutkan keluarga terdekat. Upacara ini dilaksanakan pagi hari, dengan harapan agar kehidupan kedua mempelai kelak terus meningkat dan mudah mendapatkan rezeki. Selain itu, makna dari upacarapeusijuk adalah bentuk permohonan kepada Allah agar kedua mempelai hidup bahagia di dunia dan akhirat
§  Memotong atau Meratakan Gigi (Koh Gilo)
Saat ini upacara Koh Gilo sudah jarang dilakukan sebab kesadaran masyarakat akan bahaya pengikiran gigi semakin meningkat. Pada zaman dahulu, menjelang pernikahan gigi calon pengantin wanita harus diratakan dengan alat pengikir gigi. Upacara ini dilaksanakan setidaknya 7 hari sebelum upacara pesta perkawinan dilaksanakan.[5] Menurut penilaian orang zaman dulu, pemotongan gigi ini akan membuat kesan lebih cantik pada calon pengantin perempuan. Selain itu, sebagai tanda bahwa perempuan itu sudah bersuami.
§  Memotong Rambut Halus Bagian Dahi (Koh Andam)
Koh Andam adalah upacara memotong bulu-bulu halus di bagian wajah dan kuduk dara baro agar kelihatan lebih bersih. Upacara ini mengandung makna menghilangkan hal-hal yang kurang baik pada masa lalu dan menggantikannya dengan hal-hal yang baik pada masa yang akan datang.
Upacara Koh Andam dilakukan ketika perempuan dara baro dalam keadaan suci (sedang tidak haid). Bulu dan rambut yang telah dicukur tadi dimasukkan ke dalam kelapa gading atau kelapa hijau yang diukir dan masih ada airnya. Kelapa ukiran yang berisi rambut tadi ditanam di bawah pohon rindang. Ini mengandung harapan agar mempelai perempuan selalu tegar dan berpikiran tenang ketika menghadapi masalah.
§  Upacara Peumano
Peumano Dara Baro artinya memandikan calon mempelai perempuan. Sebelum masuk padaUpacara peumano, biasanya juga dilakukan peusijuk. Upacara peumano mengandung makna bahwa calon dara baro sudah dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus. Namun, upacara ini bukan hanya untuk mempelai perempuan saja. Calon pengantin laki-laki juga menjalani Upacarapeumano.
Calon mempelai, baik perempuan maupun laki-laki, dimandikan oleh orangtua mereka, tetua  adat yang taat, dan beberapa keluarga terdekat. Jumlah mereka harus ganjil. Selama upacara, calon pengantin dibacakan doa-doa agar menjelang perkawinan mereka dalam keadaan suci lahir dan batin. Dalam upacara itu, mempelai dipayungi dan diarak menuju pemandian. Para pengiring membaca shalawat dan kadang-kadang diselingi lantunan syair. Syair tersebut merupakan sanjungan kepada keluarga atau nasihat bagi mempelai.
Pada zaman dulu, Upacara Peumano mempunyai makna yang sakral, sehingga upacara itu dilaksanakan dengan khidmat. Pada saat itu, upacara ini hanya dilakukan oleh kaum bangsawan, dan hanya diikuti oleh keluarga terdekat. Tata cara pelaksanaan upacara ini berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain. Perkembangan tersebut terlihat misalnya pada penambahan tarian dari daerah Aceh Barat, yaitu tarian Pho. Di atas telah disinggung mengenai syair yang dibawakan pada waktu Upacara Peumano.
·         Khatam Qur’an
Upacara ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa perempuan calon pengantin adalah orang yang shalihah. Upacara Khatam Qu’an ini menjadi bukti betapa kuat agama Islam mewarnai kebudayaan Aceh. Bagi masyarakat Aceh, agama merupakan faktor penting dalam jodoh dan perkawinan.
Upacara ini dipimpin oleh seorang guru ngaji setempat. Pelaksanaan upacara diawali dengan pembacaan doa-doa keselamatan. Sebelum membaca ayat terakhir dalam Qur’an, pengantin perempuan disuapi ketan dan tumpo yang telah tersedia. Setelah upacara selesai, calon dara baromenyalami dan mengucapkan terima kasih serta meminta maaf atas kesalahan yang ia lakukan. Pada kesempatan itu, ia juga meminta restu kepada guru ngajinya.
Setelah semua proses upacara dengan guru ngaji selesai, dilanjutkan Upacara Khatan Qur’an di hadapan orangtua dan keluarga terdekat. Calon pengantin perempuan didampingi sang guru ngaji. Setelah acara selesai, keluarga akan menyerahkan telur, bereteh, beras, padi, dan uang sekadarnya kepada guru ngaji. Ini merupakan wujud terima kasih dari calon mempelai atas ilmu yang telah diberikan oleh guru ngaji.[6]

C.    Pelaksanaan Perkawinan
Setelah berbagai upacara menjelang perkawinan selesai, pasangan pengantin akan memasuki acara inti perkawinan yang disebut wo linto[7]Inilah puncak acara yang dinanti-nantikan. Ini adalah upacara mengantarkan linto baro ke rumah orangtua dara baro. Pada saat pelaksanaan upacara ini, dara baro sudah siap dengan pakaian pengantin.Mempelai perempuan dibimbing oleh dua pendamping di kanan dan kiri yang disebut peunganjo. Ketiganya berjalan menghadap kedua orangtua untuk sungkem (semah ureung chik), kemudian peunganjo membimbing dara baro ke pelaminan untuk menunggu kedatangan linto baro dan rombongan. Linto baro melakukan hal yang sama dengan dara baro. Setelah memakai busana pengantin, ia akan melakukan sungkem kepada kedua orangtuanya untuk meminta doa restu. Setelah melakukan sungkem linto baro berangkat ke rumah dara baro bersama rombongan pengantar mempelai pria (peutren linto). Selama perjalanan menuju rumah dara baro, rombongan melantunkan shalawat. Pihak keluarga dara baro akan menjemput iring-iringan pengantin pria kira-kira 500 meter dari rumah dara baro. Setelah kedua mempelai dan rombongannya bertemu, pihak linto baro dan dara baro akan berbalas pantun (seumapa). Jika pihak linto baro kalah dalam berbalas pantun tersebut, maka acara tidak dapat dilanjutkan. Tapi, kalau pihak linto baro menang, maka dilanjutkan dengan upacara tukar-menukar sirih oleh kedua orangtua dari pihak pengantin laki-laki dan perempuan.
Setelah memasuki pintu gerbang, linto baro diserahkan kepada orang tua adat dari pihak dara baro. Mempelai laki-laki dipayungi oleh satu atau dua pemuda dari pihak dara baro dan mereka akan beriringan menuju rumah dara baro. Sebelum masuk rumah, linto baro dibimbing pendamping (peunganjo) untuk membasuh kaki. Hal ini bermakna, untuk memasuki jenjang rumah tangga harus suci lahir dan batin.
Sementara dara baro sudah duduk menanti di pelaminan. Ia kemudian dibimbing seorang ibu pendamping (peunganjo) untuk menyambut linto baro dan melakukan sungkem kepada mempelai pria. Ini merupakan tanda hormat dan pengabdian. Linto baro menerima sambutan dara barodengan penuh kasih sayang, lalu menggenggam tangan dara baro sambil menyelipkan amplop yang berisi uang yang melambangkan tanggung jawab untuk menafkahi sang istri.
Setelah itu, kedua mempelai disandingkan sebentar di pelaminan sebelum dibimbing menuju suatu tempat khusus untuk bersujud kepada kedua orangtua mempelai. Prosesi dimulai dari dara barobersujud kepada orangtua kemudian kepada kedua mertua. Linto baro mengikuti apa yang dilakukan mempelai wanita. Lalu mereka dibimbing ke pelaminan untuk di-peusijuek oleh keluarga. Mulai dari keluarga linto baro yang memberikan uang dan barang berharga lainnya. Begitu juga sebaliknya. Jumlah anggota keluarga yang melakukan  peusijuek tidak boleh genap.
Setelah pelaksanaan upacara selesai, linto baro langsung pulang ke rumahnya. Setelah hari ke tiga atau ke tujuh barulah linto baro diantar kembali ke rumah dara baro untuk melaksanakan upacara hari ketiga (peulhe) atau ketujuh (peutujoh). Upacara ini diawali dengan penanaman bibit kelapa yang dilakukan oleh woe linto bersama dara baro. Selanjutnya, linto baro melakukan sujud kepada mertua dan diberi pakaian ganti, cincin emas, dan lain-lain.
Pihak woe into juga membawa beberapa perangkat untuk dara baro yang berupa makanan kaleng, kopi, teh, susu, dan berbagai perlengkapan dapur yang lain. Selain itu, juga membawa beberapa bibit tanaman seperti bibit kelapa, bibit tebu, dan sebagainya sesuai kemampuan keluarga wo linto.[8]

D.    Upacara Setelah Perkawinan
Setelah perkawinan masih ada serangkaian upacara, yaitu Tueng Dara Baro. Upacara Tueng Dara Baro merupakan upacara untuk mengundang dara baro beserta rombongannya ke rumah mertua. Upacara ini dilaksanakan pada tujuh hari setelah upacara wo linto. Pada waktu upacara ini, dara baro diarak menuju rumah pengantin laki-laki dengan didampingi dua pengunganjo. Rombongan pengantin perempuan ini juga membawa makanan dan kue-kue. Cara penyambutan upacara ini hampir sama dengan upacara wo linto, tapi tanpa prosesi berbalas pantun dan cuci kaki.
Sampai di pintu masuk, rombongan akan disambut keluarga laki-laki. Orangtua kedua belah pihak kemudian melakukan tukar-menukar sirih. Di pintu masuk rumah, rombongan ditaburi beras (breuh padi), bunga rampai, dan daun-daun sebagai tepung tawar (on seunijuk). Setelah dara baro duduk di tempat yang telah disediakan, ibu linto baro melakukan tepung tawar yang dilanjutkan dara barobersujud kepada orangtua linto baro. Orangtua linto baro kemudian menyerahkan perhiasan yang ditaruh di dalam air kembang dalam suatu wadah khusus.
Pada upacara ini, dara baro menginap di rumah orangtua linto baro selama tujuh hari dengan ditemani oleh satu atau dua peunganjo. Tujuh hari kemudian, barulah dara baro diantar pulang.Dara baro juga dibekali dengan beberapa perangkat pakaian, bahan makanan, dan uang. Di rumah orangtua dara baro rombongan disambut dengan upacara jamuan makan bersama yang menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara.[9]

2.2 Perlengkapan Peusijuek
       a. Persiapan Peusijuek
Dalam kegiatan peusijuek  orang yang melaksanakan peusijuek (tengku) harus memahami tata cara dan doa-doa dalam peusijuek walaupun setelah itu disusul oleh orang-orang dekat dari yang dipeusijuek. Prosesi peusijuek dilakukan dengan  dibimbing atau diarahkan oleh pelaku inti, tentunya dengan  bacaan-bacaan surat Alfatihah dan ayat-ayat pendek lainnya. Terdapat empat unsur penting  dalam peusijuek yaitu bahan yang digunakan, gerakan yang dilakukan saat dipeusijuek, doa yang dibacakan menurut acara peusijuek, dan temutuek.
b. Benda-benda yang digunakan
Bahan-bahan yang digunakan dalam peusijuek berbeda-beda, tergantung dari orang yang melakukan peusijuek dan tradisi di suatu daerah.[10]
Menurut Nenek peneliti (Nafsiah), benda-benda yang dipakai pada saat peusijuek ialah  talam satu buah, glok ie, breuh pade satu mangkok, bu lukat (nasi ketan) satu piring,  beras bersama tumpoe atau kelapa merah, tupong taweue, sangee, boh kruet,garam, gula dan air juga beberapa dedaunan, yaitu oen sineujuek, oen manek manoe, oen naleng samboe, oen gaca, oen seukee pulot, oen pineung, oen rehan dan oen sitawa.[11]

Makna Filosofis Benda yang Digunakan Ketika Peusijuek
       Semua benda yang digunakan memiliki makan filosofis tersendiri dan semua dedaunan tersebut diikat menjadi satu dan digunakan sebagai alat mericikkan air.
Adapun bahan yang digunakan, misalnya :[12]
·         Dedaunan
-       Oen sineujuek melambangkan dingin (mendinginkan)
-       Oen manek-manoe melambangkan kerukunan
-       Oen naleng sambo melambangkan kesatuan
-       Oen gaca melambangkan keindahan
-       Oen sekee pulot melambangkan kewangian
-       Oen pineung melambangkan keharmonisan
-       Oen rehan melambangkan kemuliaan
       Ketujuh dedaunan ataupun benda tersebut disatukan dan diikat menjadi lambang dari kekuatan, yaitu :
·         Beras dan padi, melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan semangat.
·         Air dan tepung, melambangkan kesabaran dan ketenangan.
·         Nasi ketan, melambangkan sebagai pelekat tali persaudaraan.
·         Tumpoe, melambangkan agar tidak ada sifat rakus pada diri manusia.
·         Garam dan gula melambangkan tidak ada perbedaan antara sesama manusia.
·         Boh kruet melambangkan masih percaya dengan adat yang masih berlaku.

BAB III
3.1 KESIMPULAN
§  Pelaksanaan perkawinan dalam adat Aceh pihak mempelai laki-laki lebih banyak persiapan  di dalam rangka untuk menetukan pilihan sehingga makna dari perkawinan itu sendiri di dapatkan yaitu mebentuk keluarga sakinan, mawadhah dan warahmah. Dalam perkawinan tersebut juga bagaimana seorang pihak mempelai laki-laki menjalankan dan menjadi pemimpin dalam rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap apa yang telah menjadi pilihan dalam berumah tangga sepenuhnya .
§  Pihak mempelai perempuan dalam melangsungkan pernikahan cendung mengikuti apa yag telah menjadi sebuah kesepakatan yang telah di tentukan sebelum berlangsungnya perkawinan. Untuk seterusnya  mempelai perempuan akan di hadapkan kepada sebuah tanggung jawab bagaimana mengurusi rumah tangga yang baik sehingga si mempelai laki-laki tetap terasa tenang dalam mengerungi bahtera rumah tangga yang telah mereka bentuk.
3.2 SARAN
§   Setiap bangsa harus melestarikan budaya yang telah diwarisi oleh para pendahulu mereka yang merupakan ciri-ciri suatu Bangsa yang harus di pertahankan oleh generasi muda yang ada pada saat sekarang sehingga budaya yang telah diwarisi tetap terjaga dan tertata rapi .
§  Bagi setiap generasi yang mengalami moderenisasi dalam hal budaya, sosial, dan ilmu pengetahuan maka harus menciptakan sistem yang melestarikan buadaya, adat yang telah di wariskan supaya adat istiadat tetap menjadi hal yang harus di pertahankan walaupun mengalami moderenisasi akan budaya tersebut sehingga genarasi-generasi bangga akan budaya yang  mereka miliki.


DAFTAR PUSTAKA
·         Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), 1990, Pedoman Umum Adat Aceh edisi 1, Medan: Bali Scan dan Percetakan.
·         Wignjodipoero, Soerojo, 1990, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: CV Haji Masagung.
·         Umar. Muhammad (EMTAS), 2006, Peradaban Aceh (Tamaddun) 1, Banda Aceh: Yayasan BUSAFAT.
·         Umar. Muhammad (EMTAS), 2008, Peradaban Aceh (Tamaddun) 2, Banda Aceh: CV Boebon Jaya.




[1] Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Pedoman Umum Adat Aceh edisi 1 (Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1990), hlm. 12


[2] Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Pedoman Umum Adat Aceh edisi 1 (Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1990), hlm. 12


[3] Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Pedoman Umum Adat Aceh edisi 1 (Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1990), hlm. 26

[4] Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Pedoman Umum Adat Aceh edisi 1 (Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1990), hlm. 28
[5] Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Pedoman Umum Adat Aceh edisi 1 (Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1990), hlm. 29
[6] Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), Pedoman Umum Adat Aceh edisi 1 (Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1990), hlm. 32

[7] Umar. Muhammad (EMTAS), Peradaban Aceh (Tamaddun) 1 (Banda Aceh: Yayasan BUSAFAT, 2006), hlm. 17

[8] Umar. Muhammad (EMTAS), Peradaban Aceh (Tamaddun) 1 (Banda Aceh: Yayasan BUSAFAT, 2006), hlm. 32

[9] Umar. Muhammad (EMTAS), Peradaban Aceh (Tamaddun) 1 (Banda Aceh: Yayasan BUSAFAT, 2006), hlm. 34
[10] Umar. Muhammad (EMTAS), Peradaban Aceh (Tamaddun) 2, (Banda Aceh: CV Boebon Jaya, 2008), hlm. 22
[11] Ibid, hlm. 24
[12] Ibid, hlm. 27

Comments

Popular Posts